Entri Populer

Sabtu, 19 Maret 2011

Bagian Otak yang Mengendalikan Gerak Kita

"Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka." (Al Qur'an, 96:15-16)
Ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" dalam ayat di atas sungguh menarik. Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun belakangan mengungkapkan bahwa bagian prefrontal, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang tengkorak. Para ilmuwan hanya mampu menemukan fungsi bagian ini selama kurun waktu 60 tahun terakhir, sedangkan Al Qur'an telah menyebutkannya 1400 tahun lalu. Jika kita lihat bagian dalam tulang tengkorak, di bagian depan kepala, akan kita temukan daerah frontal cerebrum (otak besar). Buku berjudul Essentials of Anatomy and Physiology, yang berisi temuan-temuan terakhir hasil penelitian tentang fungsi bagian ini, menyatakan:
Dorongan dan hasrat untuk merencanakan dan memulai gerakan terjadi di bagian depan lobi frontal, dan bagian prefrontal. Ini adalah daerah korteks asosiasi…(Seeley, Rod R.; Trent D. Stephens; and Philip Tate, 1996, Essentials of Anatomy & Physiology, 2. edition, St. Louis, Mosby-Year Book Inc., s. 211; Noback, Charles R.; N. L. Strominger; and R. J. Demarest, 1991, The Human Nervous System, Introduction and Review, 4. edition, Philadelphia, Lea & Febiger , s. 410-411)
Buku tersebut juga mengatakan:
Berkaitan dengan keterlibatannya dalam membangkitkan dorongan, daerah prefrontal juga diyakini sebagai pusat fungsional bagi perilaku menyerang…(Seeley, Rod R.; Trent D. Stephens; and Philip Tate, 1996, Essentials of Anatomy & Physiology, 2. edition, St. Louis, Mosby-Year Book Inc., s. 211)
Jadi, daerah cerebrum ini juga bertugas merencanakan, memberi dorongan, dan memulai perilaku baik dan buruk, dan bertanggung jawab atas perkataan benar dan dusta.
Jelas bahwa ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" benar-benar merujuk pada penjelasan di atas. Fakta yang hanya dapat diketahui para ilmuwan selama 60 tahun terakhir ini, telah dinyatakan Allah dalam Al Qur'an sejak dulu.

Mengembangnya Alam Semesta




Edwin Hubble dengan teleskop besarnya.
Dalam Al Qur'an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan sebagaimana berikut ini:
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya." (Al Qur'an, 51:47)
Kata "langit", sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di banyak tempat dalam Al Qur'an dengan makna luar angkasa dan alam semesta. Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini. Dengan kata lain, dalam Al Qur'an dikatakan bahwa alam semesta "mengalami perluasan atau mengembang". Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan masa kini.


Sejak terjadinya peristiwa Big Bang, alam semesta telah mengembang secara terus-menerus dengan kecepatan maha dahsyat. Para ilmuwan menyamakan peristiwa mengembangnya alam semesta dengan permukaan balon yang sedang ditiup.
Hingga awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya diyakini di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian, pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern, mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan ia terus-menerus "mengembang".
Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang.
Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang". Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur'an pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur'an adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.

Selasa, 14 Desember 2010

Asal Mula Sungai Ketapang (sungai pawan)

ASAL MUASAL KETAPANG


pada jaman dahulu terdapat sebuah pohon ketapang raksasa yang tumbuh sangat subur daerah kota ketapang, saking besar dan rimbunya pohon tersebut menutupi kota ketapang dari terpaan sinar matahari, sehingga penduduk setempat sangat kesulitan untuk menjemur padi hasil ladang mereka....sampai-sampai menurut cerita masyarakat jaman dahulu harus menjemur padi mereka sampai ke daerah padang tikar.....
Dulu kota ketapang adalah adalah suat daerah yang sangat aneh.
seluruh daerahnya ditutupi oleh pohon ketapang yang sangat besar, hingga daerah tersebut hampir tidak ada cahaya matahari.
namun semakin berkembangnya jaman maka rakyat berusaha menyingkirkan pohon ketapang raksasa tersebut(menebang) sehingga disepakatilah pohon tersebut harus ditebang...
selanjutnya setelah di tebang pohon tersebut tumbang dengan berbagai cara yang pada akhirnya bekas tumbangnya pohon tersebut lama-kelamaan terbentuklah sebuah sungai dimana bekas pohon induk membentuk sungai induk(sungai pawan) dan ranting-rantingnya membentuk anak-anak sungai kecil.....
setelah itu barulah masyarakat dapat melihat sinar matahari langsung d kota ketapang.....














kota ketapang juga terkenal akan ale-ale, yakni sebangsa hewan laut yang menyerupai kerang
yang hanya ada di ketapang, menrut cerita masyarakat ketapang ale-ale adalah buah pohon ketapang tersebut yang jatuh ke sungai pawan yang mengelilingi ketapang.
dimana sekarang hewan tersebut dijadikan simbol kota ketapang oleh masyarakat luar..sehingga masyarakat luar menyebut ketapang dengan kota ale-ale....(wallahu 'alam)
hewan tersebut dahulu dijadikan simbol pada bundaran jembatan pawan I, namun sekarang telah di renopasi dan ale-ale besar yang ada pada bundaran telah d buang........

Minggu, 12 Desember 2010

Kisah Dua Tukang Sol

Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.
“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.
“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”
“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.
“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.
Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.
Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,
“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”
Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,
“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”
“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.
“Abang yakin?”
“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.
“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.
“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.
“Apa kabar mang Udin?”
“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.
Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,
“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”
“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.
“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.
Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,
“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”
“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.
Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.
“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.
“Tidak.”
“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”
Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.
“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”
Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik

Burung Jelita

Pagi-pagi buta aku sudah terbangun oleh dering handphoneku yang senada ketika ia berputar bergesekan dengan meja. Sungguh mengesalkan terbangun seperti itu. Aku berusaha tidak mengubrisnya tapi percuma. Telepon itu dari Sinta. Dan kalau tidak aku angkat, maka mampuslah aku. Jadi aku angkat telepon itu, dengan benar-benar enggan.
“Halo?”
“Banguun, Say. Kau tidak lupa janji kita, kan?” kata Sinta, bertepatan dengan saat aku mengeluarkan uap panjangku.
“Apa? Oh, iya. Tentu saja. Aku, err..dalam perjalanan kesana.” Bohong.
“Bohong. Aku dengar tadi kau menguap. Sudah kamu di situ saja. Biar aku yang kesana.”
Sinta memutuskan hubungan. Sepertinya ia sedang berada di dalam bus. Sungguh berisik. Begitulah bus kota. Dan itulah kenapa aku lebih memilih naik sepeda. Kadang Sinta mewanti-wanti supaya aku mau sekali-kali naik bus. Katanya ia sulit melihatku belakangan ini. Tentu aku naik bus sekali-kali. Tapi tidak setiap kali. Banyak kejahatan terjadi di dalam bus. Dan kasus kecelakaan juga. Sepeda? Hampir tidak pernah.
Aku mengambil handukku dan 15 menit kemudian sudah berpakaian lengkap. Yaa, lebih lambat dari biasanya. Aku masih setengah tertidur. Semalam aku naik ranjang jam 3. Kerjaan betul-betul menumpuk dan satu-satunya hari liburku harus kuhabiskan bersama Sinta. Apa yang lebih buruk dari semua ini? Aku pikir, bisa-bisa aku pensiun dini.
Kuhirup aroma pagi dari setiap sudut jalan. Berpura-pura kalau itu membuatku segar kembali. Dan iya, aku merasa segar sedikit. Dengan sedikit hirupan kopi Espresso tentunya. Aku tidak ingin Sinta ke apartemenku. Kasihan dia. Jarak dari rumahnya ke apartemenku sangat jauh. Dan tempat di mana kami akan kencan berada ditengah-tengahnya. Aku pun merogoh handphoneku dan berjalan menuju sepedaku. Lokasi apartemen ini begitu asri. Banyak pohon dimana-mana. Sedikit mobil dan motor. Ada Buck`s Cafe di perempatan. Sekolah Taman Kanak-Kanak. Tempat parkir. Aku senang di sini. Begitu pula Sinta. Ia sering menginap di apartemenku. Dan begitu kami menikah, ia bilang ingin kami tinggal disini dan menyekolahkan anak kami di sekolah taman kanak-kanak itu. Aku tertawa. “Kau mengkhayal,” aku bilang.
Dia memasang muka terkejut dan marah. “Apa? Jadi kau tidak mau menikah denganku?”
“Kau pikir aku mau menikah dengan perempuan sok ngatur sepertimu?” godaku.
“Oo, lihat saja. Kalau sudah menikah aku bisa kok jadi istri yang penurut.”
“Heh, nada bicaramu seperti kebalikannya.”
Dia mencubit perutku. Saat itu aku sudah punya firasat untuk mengajak Sinta berumah tangga. Tapi aku belum siap. Entah kenapa. Cuma belum siap untuk menikah.
“Om,” panggil seseorang.
Aku mengambil kunci sepedaku dan sedang betul-betul kesal kenapa teleponku tidak diangkat.
“Mas? Pak? Nak?”
Aku menoleh. Seorang pedagang keliling melihatku sambil tersenyum. Pedagang Cina. Aku bisa lihat giginya yang hampir habis dari senyumannya itu. Ia menjual dupa, yang biasa dipakai etnis TiongHoa untuk sembahyang.
“Maaf, er…Kek. Aku tidak pakai dupa,” kataku, mencoba membuka gembok sepeda, dan mencoba menelepon Sinta.
“Heh Nak, kamu bisa menolongnya?”
“Hah?”
Aku membalikkan badan dan melihat lagi gigi yang sudah hampir habis itu. Tapi yang punya gigi terus tersenyum dan beranjak pergi. Apa maksudnya? Sebelum aku mengerti maksudnya dan berusaha dalam membuka gembok sepedaku, aku baru menyadari kalau ada seorang anak perempuan kecil tengah menangis. Ia terjatuh dari sepedanya dan terus memanggil-manggil Mama. Aku menghampirinya.
“Hai,” sapaku. Aku tidak terlalu pandai dalam meladeni anak kecil. “Kau terluka.” Ia tetap menangis.
“Sini, Kakak bantu. Kakak antar kamu ke dalam sekolah, ya?! Guru UKS bisa merawatmu. Dan mungkin mamamu sudah menunggu di dalam,” kataku seraya membantunya berdiri. Saat itu teleponku berdering.
“Man, kamu tadi menelepon?” dari Sinta. Ia masih di dalam bus.
“Ratusan. Kenapa tidak angkat?” Aku balik bertanya.
“Ah, tidak kedengaran. Kau tahu ramainya didalam bus ko-, ups, mana kamu tahu ya?” Ia tertawa. “Tunggu sebentar lagi aku akan sampai.”
“Err, Sin, kamu tidak usah ke sini. Aku sudah siap dari tadi. Kita ketemu di sana aja, OK?”
“Ow, begitu. Ya sudah. Ketemu disana, ya. Kasih sinyal kalau sudah sampai. Soalnya kamu tidak kelihatan. Haha…” Telepon putus.
“Pacar ya, Kak?” tanya perempuan tadi. Aku mengangguk. Tersenyum melihat anak perempuan ini. Paling dia masih duduk di TK kecil. Tapi sudah tahu istilah pacar. Nanti kalau SMP sudah tahu ‘istri’ atau ’suami’. SMA sudah tahu sex. Dan di bangku kuliah sudah menikah. Err…darimana datangnya pikiran ini?! Anak semanis ini, dan berpikir yang macam-macam tentangnya? Aku langsung mengantarnya ke ruang UKS dan kembali ke tempat parkir secepatnya. Anggap saja pikiran tadi tidak pernah ada. Tidak pernah ada.
Aku mengayuh sepedaku melintasi jalanan aspal, mobil, motor, dan asap yang beserta mereka. Aku tidak suka bau asap. Tapi aku suka rokok. Dan sepanjang hubunganku dengan Sinta, ‘rokok’ adalah topik terpanjang yang pernah kami bahas, dengan debat panjang.
Aku tiba di tujuan. Sebuah kebun binatang. Ini merupakan tempat paling pas untuk mengingat kenangan indah. Yaa, disini aku pertama kali menembak Sinta. Di depan kandang orang utan.
“Sekarang kau seperti dia, kau tahu?” katanya waktu aku selesai mengucapkan isi hatiku.
“Dia?” tanyaku. “Wah, jadi sulit untuk kamu menerima aku kalau begitu.”
“Yaa, kalau dia sih aku mau.”
Aku melihat jam tanganku lalu mengecek lagi keberadaan Sinta di sekitar. Aneh, harusnya dia duluan yang sampai. Aku meraih HP dan mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Mungkin masih di bus. Jadi aku mengambil tempat duduk di bangku pengunjung dan menyulut sebatang rokok. Tidak lama telepon berdering. Aku meraihnya namun mataku mencari-cari keberadaan Sinta. Jangan sampai ia melihatku dengan rokok.
“Halo, Sin. Kamu dimana?” tanyaku langsung.
“Nak Herman? Kamu, Nak?” Mamanya Sinta.
“Oh, Tante. Iya Tante, ini saya.” Nada bicaraku langsung berubah. “Ada apa, Tante?”
Ia menangis. Sesuatu terjadi.
“Nak Herman, sekarang Tante di rumah sakit.” Ia berhenti. Menangis. “Sinta,…Dia kecelakaan.” Kali ini ia benar-benar berhenti bicara dan tangisannya membahana hingga aku bisa mendengar orang-orang di sekitarnya yang berusaha menenangkan. Aku sendiri terpaku. Baru saja aku bisa bergerak dan hendak menyambar sepedaku ketika tiba-tiba suara Arya terdengar dari telepon yang belum putus tadi.
“Kak Herman? Kakak masih di situ? Kak?”
“Arya. Arya, Kakak masih disini,” jawabku.
“Kami di RS ZZX. Segeralah ke sini, Kak. Kak Sinta butuh Kakak.”
“Iya, Kakak segera ke situ.” Aku memutuskan hubungan dan langsung menduduki sepedaku.
KRING
Teleponku berbunyi lagi. Aku menyambarnya dan siapapun ini aku betul-betul tidak ada mood untuk berbasa-basi.
“Halo?” kataku dengan tergesa-gesa, bersiap memutuskan hubungan kalau aku rasa ini tidak penting.
“Halo? Man? Kenapa kamu? Dikejar anjing?” Suara tertawa dari seberang. Suara tawa yang biasa aku dengar. Awalnya aku merasa seperti jatuh ke jurang dan tubuhku mengambang dalam perjalanannya turun. Tapi sekarang aku seperti terbang. Atau mengambang.
“Sinta? Ini Sinta?” tanyaku tidak percaya.
“Tok. Tok. Halooo, sudah tidak kenal suaraku lagi? Mau aku tinju, hah?!”
“Tapi, tadi mamamu telepon…”
“Oh, mamaku telepon? Kenapa? Eh, di mana kamu? Kenapa tidak ketemu saja? Aku sudah sampai, nih. Dasar. Awas kalau gelayapan dulu sebelum aku.”
Aku diam tanpa kata-kata. Ini Sinta. Dan tadi mamanya menyampaikan berita yang menyayat hatiku sangat dalam. Tapi ini dia. Dan dia disini.
“Di mana kamu?” tanyaku mencari-cari.
“Di pintu masuk,” jawabnya. “Aku di pintu masuk.”
“Tidak ada. Aku tepat di pintu masuk. Di bangku pengunjung.”
“Ha-ha. Very funny. Kau tahu?! Sekarang aku sedang duduk di bangku pengunjung dengan lemper di tanganku. Dan kalau kau tidak muncul, lempermu juga ikutan masuk ke perutku. Aam…”
“Serius, Sin! Aku serius. Aku juga di bangku pengunjung. Tadi mamamu menelepon..”
“Dan?”
“Dia bilang kau kecelakaan dan sekarang sedang berada di rumah sakit.”
Aku diam sejenak. Menunggu reaksi Sinta. Hening. Sinta tidak berkata apa-apa. Aku pikir dia juga pasti shock dan terheran-heran.
“Sin?” panggilku. “Sinta? Kau di situ?”
“Ya Tuhan, Herman!” Ia histeris. Entah apa yang terjadi tapi dia panik. Oh Tuhan, seandainya aku disebelahnya.
“Herman! Herman!” Sinta memanggil-manggilku. Suaranya seperti hendak menangis.
“Sin, Sinta, aku di sini. Tenang. Kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Aku berusaha menenangkannya. Tapi dia justru terdengar semakin gugup.
“Tidak, Man. Man, aku.., ini.., Herman..” Ia mulai menangis.
“Sinta, apa yang terjadi?”
“Oooh, Tuhan. Herman, keluarkan aku dari sini.” pintanya.
“Sinta, apa yang terjadi? Di mana kamu?”
“Aku di sini. Aku…aku…” Ia terisak. “Begitu kau bilang soal kecelakaan, aku baru teringat. Bus yang aku tumpangi, entah bagaimana, bus itu seperti meledak. Awalnya seperti gempa. Lalu api di mana-mana. Kemudian semua kembali seperti normal.”
“Apa maksudmu kembali seperti normal?”
“Semuanya kembali normal. Kau tidak mengerti? Semuanya kembali, aku di dalam bus, lalu semua orang. Semuanya normal. Seolah semua gempa dan ledakan itu tidak pernah ada.”
“Lalu di mana kamu sekarang, Sin? Di mana semuanya?”
“Justru itu, Man.” Sinta mulai menangis. Dan ia ketakutan. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” katanya.
Aku pun tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku menyuruh Sinta untuk tenang, di sana. Handphone masih aku nyalakan. Satu persatu orang yang lewat di sekitar situ aku dekati dan aku berusaha menceritakan sesingkat dan sedetail mungkin. Namun mereka semua mengira aku gila. Siapa yang bisa aku mintai tolong? Bergunakah untuk berdoa di saat seperti ini? Ya, aku menyuruh Sinta berdoa. Sedang aku seperti orang gila kesana kemari mencari pertolongan.
“Man? Herman? Kau disitu?” panggil Sinta. Aku buru-buru mendekati handphoneku ke telinga.
“Ya, Sin. Aku masih di sini.”
“Aku takut, Man.”
“Ya, aku tahu, Sin. Aku sedang mencari pertolongan.”
“Menurutmu siapa yang bisa menolong kita sekarang?” Pertanyaan itu tidak bisa aku jawab. Tapi Sinta pasti sangat ketakutan hingga melontarkannya.
“Entahlah, Sin. Aku tidak tahu. Mungkin seorang cenayang atau dukun.”
“Aku tidak mau dukun. Kau tidak tahu kalau dukun itu pakai ilmu hitam? Sekali terjerat, kau pasti masuk neraka.”
Ya, ini benar-benar kamu, Sin. Aku sih rela masuk neraka asal kau keluar dari situ. Kalau bukan dukun atau cenayang, lalu siapa? Orang tua itu. Pikiranku terlintas oleh bayangan seorang kakek-kakek Cina penjual dupa. Aku bertemu dengannya tadi pagi.
“Kau bisa menolongnya,” katanya. Aku merasa ada harapan yang muncul. Tidak ada yang bisa menolong kami saat ini. Setidaknya aku harus mencoba orang tua ini.
“Sin, aku harus pergi. Kau tetap di situ, di sini. Tetap nyalakan teleponmu.”
“Kau mau kemana, Man? Aku takut.”
“Tetaplah di situ, OK? Aku mencoba mengeluarkanmu dari situ.”
Aku pun pergi mengayuhkan sepedaku kembali ke apartemenku. Apa ia masih disitu? pikirku. Semoga saja. Oh, Tuhan, semoga ia masih disitu. Kalau memang ia yang bisa membantu, Tuhan tolonglah. Entah bagaimana, tapi aku menangis. Sudah lama sekali aku tidak menangis. Rasanya seperti…. entah bagaimana mendiskripsikannya, rasanya seperti, hidup.
Aku tiba di halaman parkir di depan apartemenku. Aku melihat tempat di mana aku melihat orang tua cina itu. Ia tidak disitu. Juga disekitarnya. Ia tidak di mana pun di sekitar itu. Aku mencarinya di dalam lapangan parkir, di sekolah, di setiap sudut apartemen yang memungkinkan seorang gembel mengungsi disitu, tapi dia tidak ada. Aku mulai putus asa. Hampir saja aku membanting handphone di tanganku begitu aku sadar cuma itu yang menghubungkan aku dengan Sinta saat ini. Oh, Tuhan, cuma ini yang menghubungkan aku dengannya. Itu pun entah sampai kapan.
“Kak, kau sudah pulang?” Anak perempuan yang tadi. Kakinya sudah diperban.
“Ya, Kakak ada sedikit masalah,” jawabku. “Kau tahu, kakek yang tadi pagi lewat sini? Orang Cina. Kau lihat dia?”
“Tidak,” jawabnya. Lalu ia diam dan meraih sesuatu dari saku celananya. “Seseorang menyuruhku memberi Kakak ini. Ia bilang aku akan ditraktir es krim setelah ini.”
“Ia bilang akan kembali mentraktirmu es krim itu, begitu?”
“Tidak. Kakak yang mentraktirku es krim,” pintanya dengan merajuk.
Aku mengambil secarik kertas dari tangannya dan membukanya perlahan-lahan.
Kesempatan cuma datang sekali. Dan sekali kau kehilangannya, kau kehilangan selamanya.
Aku melipat kembali kertas itu. Entah apa maksudnya tapi aku merasakan dadaku semakin berat. Lututku lemas hingga aku berlutut ke bawah. Dan begitu beratnya dadaku, aku menangis dan dari mulutku aku meraung. Aku tidak mengerti kalimat itu tapi aku merasa seolah-olah hidup tengah menghukumku. Aku mengangkat handphoneku namun layarnya hitam. Batereinya habis. Habis sudah satu-satunya penghubungku dengan Sinta. Aku meraih sepedaku dan bergegas menuju rumah sakit.
Arya dan mamanya menyambutku dengan mata sembab dan basah. Sinta di dalam sana. Ratusan selang terhubung di tubuhnya dan ia begitu tenang. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang dingin. Suster bilang aku cuma punya waktu 5 menit. Tapi apa yang akan aku lakukan dalam waktu 5 menit? Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa ia mendengar? Apa ia tahu aku disini? Apa ia tahu kalau aku menangis? Pliiss, kalau kau mau, ejek aku, ejek saja. Aku menangis. Sinta, aku menangis. Bilang aku seperti orang utan. Monyet yang cengeng. Apa saja. Tapi jangan diam seperti ini. Plis, bangunlah. Kumohon. Tuhan, aku mohon. Tanpa sadar mataku pun banjir oleh air mata dan aku sulit mengontrol isakanku.
Suster pun datang mengatakan bahwa waktuku telah habis. Tapi aku memohon kepadanya untuk memberiku waktu 1 menit saja. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang ingin sekali aku katakan padanya dari dulu. Maka aku pegang tangannya. Kudekatkan bibirku ke telinganya, memastikan ia mendengar ucapanku meski berada jauh disana.
“Sinta, demi seribu burung jelita yang terbang di angkasa, kumohon menikahlah denganku.”
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Entah bagaimana menjelaskan perubahan suasana ini. Televisi di dalam ruangan tersebut mengeluarkan bunyi tit yang berbeda dari sebelumnya. Di layarnya terdapat kurva-kurva yang tidak aku mengerti. Dan saat itu jari Sinta bergerak. Kecil, tapi aku merasakannya di tangannku. Dan suster masuk dan mendepakku keluar. Lalu beberapa dokter pun masuk. Dan kemudian semuanya serba tidak aku mengerti. Yang aku mengerti 2 hari kemudian ketika aku mengunjugi rumah sakit ini lagi.
2 hari kemudian
“Hai, Tuan Puteri Yang Tidak Mau Keluar dari Rumah Sakit,”
“Haii. Bunga lagi? Punya duit ya buat beli bunga?”
“Buat kamu apa sih yang tidak ?”
“Haha, gombalnya keluar. Aku bukan 3 tahun yang lalu, yang mudah termakan gombalan kamu.”
“Ya iyalah. Tiga tahun lalu aku makan, 2 tahun lalu aku cerna, ya ini, sekarang tinggal ampasnya. Haha.”
“Sialaan. Berani ya bilang aku ampas. Tak cubit perutmu lagi. Sini!”
“Mau apa?”
“Cubit perutmu.”
“Kamu kira aku bodoh mau-maunya dicubit?”
“Emang kan. Sini.” Aku mendekatinya. Duduk disebelahnya. Sinta mencubitku tapi pelan. Lalu ia mengusap leherku dan menciumku di situ. Aku balas menciumnya. Saat itu aku melihat hartaku yang paling berharga.
“Kau tahu, Man?”
“Ya?”
“Aku kangen cerita tentang seribu burung jelita.” Ia tersenyum. Senyum yang biasa aku lihat.
“Siapa yang menceritakan itu padamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Entah. Kupikir kau bisa menceritakannya padaku.”

Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu

Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat Parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati.
Dayang Sumbi sangat cantik dan cerdas, banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Galau hati Dayang Sumbi melihat kekacauan yang bersumber dari dirinya. Atas permitaannya sendiri Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi pun menikahi Si Tumang dan dikaruniai bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring selalu ditemani bermain oleh Si Tumang yang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sakti.
Pada suatu hari Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya Si Tumang untuk mengejar babi betina yang bernama Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, Sangkuriang marah dan membunuh Si Tumang. Daging Si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah Si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka dan diusirlah Sangkuriang.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya, begitu juga sebaliknya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya.
Dayang Sumbi pun berusaha menjelaskan kesalahpahaman hubungan mereka. Walau demikian, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).